setiap kali lewat selalu saja kau duduk di halte
menunggu bus kota yang selalu penuh
dengan tatap kosong; kau tundukkan wajah
pada halte kau tunggu bus kota
yang kan berangkat dalam kerjap gelisah
dan lambaian atau umpatan kasar kondektur
terdengar menggaung dan menggetarkan telinga
di halte pukul satu sudah
dan kau bertanya: masihkah bus kota ada
yang kosong untuk satu tempat duduk saja
dan itu pun hanya dalam hati
(debu berkibar, asapnya bertebar)
di halte setiap kali lewat bus kota kau gembira
namun kecewa akhirnya
setelah luka dan bisa lebih menusuk
seperti sembilu yang ditorehkan
di sini, halte tua yang tak mampu membendung panas
seribu bayang-bayang membias
pada titik peluh yang menetes
Zulmasri
10 Agustus 2008 at 16:24
Puisi di atas merupakan pengalaman batin saat berada di kota Padang dulu. Sering naik bus kota dan sering bergelantungan tidak dapat tempat duduk, pada bus kota dg musik hingar dan supir yg ugal-ugalan. Nggak tahu kini, masihkah suasananya sama….
Catra
10 Agustus 2008 at 20:16
jadi ceritanya lagi ingat kampung ya pak??? hehehehe
…> seorang perantau pasti ingat kampungnya sutan.
Singal
10 Agustus 2008 at 20:44
Menunggu di halte dengan berbagai aroma
ada yang mendesak ada yang menepi
berbagai karakter datang dan pergi
lalu kita berangkat dan semuanya tinggal dan lupa.
…> benar pak. halte sebuah persinggahan sementara yg juga menyimpan beragam peristiwa
Blog Bisnis
11 Agustus 2008 at 05:38
hiii, lam kenal yach 🙂
…> salam juga. orang lama dg wajah baru ya…
afraafifah
11 Agustus 2008 at 05:56
pak zul emg oke deh klo buat puisi : )
…> ok. trims fra. afra juga oke kan?
putirenobaiak
11 Agustus 2008 at 16:42
konon makin parah pak zul, aku selalu khawatir kalau ortu naik kendaraan umum di sana, tidak manusiawi 😦 *
…> benarkah meiy? berarti termasuk copetnya juga? wah…
artja
11 Agustus 2008 at 16:42
di halte aku tak mau menunggu
karena tahu seseorang tengah menungguku
di rumah untuk menyambutku
*puisinya bagus, pak zul*
…> iya deh. syukur selalu dinanti di rumah. gak perlu bertualang lagi
suhadinet
11 Agustus 2008 at 19:34
Paling kesal nunggu angkutan umum pas lagi mau cepat-cepat, tapi yang lewat selalu penuh terisi.
…> punya pengalaman gak enak juga dg bus kotaj pak suhadi?
landernova
12 Agustus 2008 at 01:47
hanya menunggukah yang bisa kita lakukan pak?
namun kalau belum ada kesadaran manusia maka kita takkan dapat tempat duduk di bus tersebut…
puisinya keren pak…..
saya apresiasi pak……
lam kenal n mampir ke pondokku yah pak….
…> tuk sementara nunggu aja mas. trims ya atas apresiasinya
Rindu
12 Agustus 2008 at 12:24
Rasanya selama lima tahun ini saya tidak berdiri dihalte … rindu halte 🙂
…> sesekali dicoba mbak. ragam kehidupan ada di sana
Alex
12 Agustus 2008 at 15:43
sebuah memoar ya da ?
syair nan indah
…> he he, bisa aja…
ubadbmarko
12 Agustus 2008 at 17:32
Haltenya sudah berubah fungsi jadi tempat mankal PKL.
…> benar juga pak. banyak halte dimanfaatkan pedagang pkl
Alex
14 Agustus 2008 at 16:53
Puisi nan indah da zul
Wiwi W
15 Agustus 2008 at 18:43
bagus sekali puisinya…:-)
salam kenal!
…> terima kasih. waduh tanpa url?
potter
16 Agustus 2008 at 12:07
Wah jd inget dulu, waktu bis sesak jd terpaksa berdiri, eeehh pas baru berdiri beberapa menit, kepala malah pusing, mabok gitu dan gak bisa ditahan akhirnya muntah dech disitu.
Malu abis dech pokoknya…
…> wah, pengalaman dimana mas? muntahnya nyiprati para penumpang ya…
ridu
16 Agustus 2008 at 23:51
wah.. kalo di jakarta sama pak.. heheh.. sampe sekarang dan tambah parah!!
…> iya du, tapi apakah juga termasuk busway?
potter
18 Agustus 2008 at 13:05
Iya mas, betul nyiprati penumpang lain, dan itu yang bikin malu abiz
….> mudah-mudahan nggak lagi ya….