
mengenang langkah
berbilang angka
tahun-tahun berguguran
menatap harap
dalam selimut malam
dedaun berguguran
mengenang langkah
di antara gagap
semoga ada harap mengendap
membuka jendela hati yang paling dalam
kusingkap setiap rasa yang mengendap
rasa yang entah apa, bebutir ingin dan angan
mengintai dalam setiap harap dan dekap
jendela itu tetap membuka, meski dingin sangat menusuk
kita telah ditakdirkan bersama, mengurai setiap makna
menguap di setiap renjana masa berpadu dalam hangat rasa
hanya padamu kusandarkan sisa usia
hanya padamu kugapai harap tersisa
menuju-Nya, dalam kembara jauh leburan dosa
di jendela yang masih membuka
tamparan angin-Nya pudarkan jentera warna yang mendera
lelaki yang membelit pinggangnya dengan sapu
bercerita tentang malam pada dua musim
suaranya parau tersekat angin kemarau
yang menyisakan amis tubuh yang berpirau
lelaki penuh warna cinta di wajahnya
hamparkan pandang di kejauhan
angin malam menjadi penghias
lengangnya malam tanpa piranti
malam kian larut dalam keping sepi
nyanyian jejangkrik menyentuh pinggir gelap
“apa yang kau cari wahai pengelana?”
entah tanya siapa
sepotong rembulan tersipu menatapnya
“aku kehilangan waktu yang teramat panjang,” tulismu
di lembar kedua kertas merah muda
Pekalongan, 2017
sepanjang sengare dan krompeng
angin menderu dalam keriangan waktu
jejak membekas di daun-daun
nan gugur di ujung jumpa
dalam udara yang hingar
separuh jiwa pergi dalam ekstase pisah
awan menggumpalkan hujan
tuai dingin di siur angin
lambai tetangan terjadi jua
saat kumaknai salam perjumpaan
tak perlu ucap selamat jalan
karena spiritmu tetap jadi kenangan
di hela napas yang masih tersisa
sepanjang sengare krompeng
nyanyian bebukitan tetap menggamangkan langkah
dalam kerinduan anak-anak desa
di ruang sujud-Mu, debu-debu berkisar dalam seteru
pikiran menyatu dalam harap, titik noktah mengambang
dalam terawang
adakah titik cahaya bersanding
dengan rindu dan urai air mata?
kembali ke ruang sujud-Mu, suara-suara menghilang dan luruh
kesombongan telah menghancurkan segala harap nan pengap
kukembali dalam kesendirian dan ketersiaan
masihkah pintu-Mu membuka, saat kutergeragap dalam luka?
di ruang sujud-Mu, dingin subuh tak lagi mampu menyejukkan
bara api begitu berlumut di hati
tak ada yang salah, tak ada sesal diperhamba
kecuali diri yang rapuh dalam setiap langkah
ya Rabb-ku
pongah dan sembongku sudah menggerogoti diri
masihkah pintu tobat-Mu membuka
saat kurapuh dalam pinta nan renta?
masihkah kau dengar lirih nyanyian burung di pagi hari?
saat kita kehilangan makna dalam menangkap pesan
kicau yang kita dengar, suara-suara menggelepar dalam tarikan napas
tak jelas dan tanpa memiliki isyarat
masihkah kau resapi tetesan embun di pagi buta?
saat subuh membangunkan kantuk
cerita semalam, pidato-pidato melenakan
hilang tanpa roh dan kenyataan
ketika kata-kata kehilangan makna
alangkah ngerinya suasana yang tercipta
pada saat kampanye, pada saat pilkada
semua kata berbumbu bunga
namun kini, entah dimana aromanya berada
masihkah engkau akan setia membangunkanku di setiap subuh?
kita banting segala mimpi, kita hantam semua janji yang pernah kita dengar
lalu kita lafazkan ayat-ayat rahmah
kita alunkan kicau damai ke seluruh dunia
dan kita sujud dan zikir di keheningan semesta
di ruang sujud-Mu, debu-debu berkisar dalam seteru
pikiran menyatu dalam harap, titik noktah mengambang
dalam terawang
adakah titik cahaya bersanding
dengan rindu dan urai air mata?
kembali ke ruang sujud-Mu, suara-suara menghilang dan luruh
kesombongan telah menghancurkan segala harap nan pengap
kukembali dalam kesendirian dan ketersiaan
masihkah pintu-Mu membuka, saat kutergeragap dalam luka?
di ruang sujud-Mu, dingin subuh tak lagi mampu menyejukkan
bara api begitu berlumut di hati
tak ada yang salah, tak ada sesal diperhamba
kecuali diri yang rapuh dalam setiap langkah
ya Rabb-ku
pongah dan sembongku sudah menggerogoti diri
masihkah pintu tobat-Mu membuka
saat kurapuh dalam pinta nan renta?
dalam kilau cahaya senja
pandang mengabur seiring noktah
ada kepak elang di antara peluit kereta
mengabarkan geliat kota nan gelisah
dalam kilau cahaya senja
kabut turun melingkup dedaunan teh
langkah kecil tertatih mendaki
pulang merindu di antara letihnya kaki
dalam kilau cahaya senja
masih tersisa catatan duka
di antara mendung dan pijar memerah
menebarkan bau tanah dan pupur murah
dalam kilau cahaya senja
kupulang di hujan yang bersela
sudah kau hapalkan nama itu baik-baik?
juga jangan lupa: jalan-jalan, gedung-gedung, etalase
dengan aneka barang, restoran, dan bank-bank pasar sungei wang
jangan pernah lupa, karena kita pernah singgah di sana
berbelanja dan mabuk dalam pesona
yang tak pernah kita mengerti, apa maknanya
sebentar, tunggu dulu
kita belum selesai bicara
aku tahu, wajahmu telah beku
di atas taksi yang membelah kualalumpur, ada nyanyi minang
bukankah kau selalu memintaku lagukan itu?
tapi sayang, kau malah menangis
kita pulang setelah mengitari pasar sungei wang
tanpa bicara. mungkin kau benar-benar sedih
perpisahan mengambang di matamu
“jangan pernah lupa pasar sungei wang
dan kualalumpur,” bisikmu
sesaat sebelum lambai terakhir
di pasar sungei wang dengan beribu kenangan
dan kerlip lampu; aku tahu, sayang itu merangkak tumbuh
(seseorang yang selalu bercerita tentang sedih
dan air mata. seseorang yang berharap
dalam bibir basah)
:x, maafkan aku!
Foto-foto: dari berbagai sumber