Bagi yang belum membaca bagian awal cerita
Silakan disimak cerpen berjudul Reuni (Bagian 1)
Perkenalan itu tak pernah kusangka akan menjadikan kami akrab untuk masa-masa selanjutnya. Aku merasa jatuh cinta padanya, dan itu sudah tentu melanggar konsepsi yang sama kami sepakati.
“Aku mau mau menjadi saudaramu saja,” kataku di awal perkenalan. “Persaudaraan yang hanya ada rasa sayang, bukan cinta.”
“Menjadi saudaraku?” ia balik bertanya.
“Kau keberatan?”
Karin menggeleng. “Aku mendukung pendapatmu, kalau itu sungguh-sungguh,” ujarnya.
Dan kemudian, Karin bercerita masa-masa perkuliahannya. Masa-masa ia juga punya teman lelaki dan menganggapnya sebagai saudara.
“Kami saling menyayangi, berbagi suka dan duka. Pergi ke toko buku bersama, kemping, dan tak terkecuali nonton film barengan. Tapi sayang, pada akhirnya ia jatuh cinta padaku. Dan itu aku takutkan, kalau kau juga jatuh cinta pula padaku nantinya. Atau sebaliknya,” ujarnya.
“Semoga tidak,” kataku diplomatis. “Tapi kalau itu memang sudah takdir, kita mau bilang apa?”
Karin tak menjawab. Hanya angkat bahu.
Dan bila kemudian aku mencintainya, aku tak tahu, apakah itu takdir atau bukan. Yang jelas, aku menjadi pembaca setia berita-berita yang ditulisnya di surat kabar tempat ia bekerja. Selain itu suaranya di radio selalu saja bergaung di lubuk hatiku. Salahkah bila kemudian aku jatuh cinta, dan bukan hanya merasa jatuh cinta?
Aku tak mampu menjawabnya. Tak juga cerita pendek yang kutulis, atau puisi-puisi yang isi dan temanya penuh gejolak persimpangan jiwa.
Tetapi apakah Karin tahu kalau aku mencintainya? Dan yang tak mustahil dari persaudaraan kami yang begitu rapat, tidakkah di hati Karin terbersit rasa yang sama dengan apa yang aku rasakan?
Pertanyaan-pertanyaan itu belum sempat kujawab, ketika kutahu Karin pindah ke daerah lain tanpa sempat pamit padaku, saudaranya.
***
Kafe masih saja lengang. Kontras sekali dengan jalan raya yang pada siang itu begitu ramainya. Karin meneguk jeruk dinginnya perlahan.
“Kau melamun?” usiknya.
Aku tergagap.
Di trotoar para pelajar saling berteriak kecil. Begitu ceria dunia mereka. Sementara suara kendaraan dan teriakan kondektur bus kota tak kalah bergalaunya.
“Kau masih saja melamun,” kembali Karin mengusik.
“Ah, Kamu!” kusentuh kakinya di bawah meja.
Ia mendelik. Dan mata itu, ya Tuhan! Jangan biarkan aku membimbangkan hatinya untuk bercerai dengan suaminya. Jangan biarkan aku menjadi pemisah kebahagiaan mereka….
“Besok aku akan kembali,” ujarnya.
“Ya,” jawabku perlahan. “Artinya kita kembali berpisah.”
“Kau menyesal?”
Aku menggeleng.
“Tapi bagaimana pun, aku tetap bersalah. Pergi tanpa sempat pamit padamu dulu. Aku minta kau mau memaafkanku.”
“Haruskah itu kau permasalahkan terus?”
“Entahlah.” Karin terdiam sejenak. “Tapi kau belum menceritakan anak istrimu….”
Aku terdiam. Siang yang panas dan angin kecil melintas. Aku tahu, Karin menatapku, mungkin tanpa kedip.
“Aku belum punya anak dan istri,” ujarku.
“Apa?” suaranya suara keheranan. Aku sudah menduga. “Kau belum beristri?”
Aku mengangguk.
“Mengapa?”
“Tidak kenapa-kenapa,” jawabku. “Dan kau, sudah berapa anakmu?”
Karin terdiam dan menunduk. Perlahan, ia menggelengkan kepala. Sekarang aku yang tercengang.
”Itulah yang kurusuhkan,” ujarnya. “Rutinitas kerja sebagai pengajar di universitas dan konsultan pada beberapa bank seakan menjebakku. Begitu pula rumah tanggaku yang monoton. Aku dan suamiku sering bertengkar, sehingga rumah tangga kami seakan sebuah neraka saja. Meski kami pasangan suami istri, aku lebih sering jalan sendiri. Begitu pula suamiku. Dan ketiadaan anak semakin memperlebar jurang antara kami.”
“Kau tak berusaha memperbaikinya?” tanyaku.
Sudah,” jawabnya. “Tapi tak pernah bisa.”
Aku diam. Karin juga diam. Kurasakan suasana lengang mencekik diriku, tanpa aku berdaya menghindarinya.
“Mungkin aku akan bercerai….”
“Apa?” kagetku. Aku benar-benar kaget mendengar kata-katanya yang terakhir. “Kau sedang bercanda kan?”
Karin menggeleng. “Aku serius!”
“Tapi, bagaimana ini bisa terjadi?” aku seakan linglung.
Karin tersenyum sekilas. “Aku sendiri tak tahu,” ujarnya. “Hanya saja aku mengerti. Kepergianku dulu, yang kusangka bisa melupakanmu dengan cara tanpa pamit, ternyata telah menyiksaku. Apa yang kuangankan, bahwa dengan pekerjaanku yang baru sebagai pengajar di universitas dan konsultan bank bisa melupakan bayanganmu dan sukses dalam karier, ternyata sebuah kesalahan besar. Boleh jadi aku berhasil membangun karierku dan tak lagi jadi penyiar serta wartawati, tapi melupakanmu aku tak pernah mampu. Karena bagaimana pun aku akui, persaudaraan kita dulu telah menjadikanku, mencintaimu….”
Aku terperangah. Benar-benar tak menyangka.Ya, Tuhan! Akankah semuanya dalam jebakan tak menentu? Mungkinkah Karin akan menjadi milikku? Ah, tidak! Sekali lagi tidak, meski sampai saat ini pun aku masih tetap mencintainya.
“Dan jangan pernah kau membohongi dirimu, bahwa secara diam-diam kau juga mencintaiku,” ucap Karin menantang bola mataku. “Esok aku akan berangkat mengurus perceraian itu, berhenti sebagai konsultan bank, dan mengurus kepindahan tugas mengajarku ke kota ini.”
Aku benar-benar tak mampu harus berbuat apa. Bahkan mulutku pun enggan membuka. Benar-benar keputusan Karin yang sebelumnya tidak pernah aku duga.
Mungkinkah aku akan bersamanya? Tegakah aku sebagai pemutus hubungan antara ia dan suaminya? Tapi pertengkaran itu. Juga rutinitas yang membuatnya asing. Dan teristimewa, cintanya. Ya, Tuhan!
(hadiah untuk mas daniel mahendra).