RSS

Kebimbangan Pengarang dan Pendekatan Ekspresif

28 Mar

ADA penafsiran, bahwa Marah Rusli menulis Sitti Nurbaya (terbit 1912) pada mulanya bukanlah dengan ambisinya yang ingin menjadi novelis. Ia hanya tidak dapat menemukan jalan lain untuk memprotes tradisionalisme “yang tidak sehat” pada zamannya. Tapi kemudian dalam Salah Asuhan, Abdul Muis mengingatkan bahwa protes terhadap tradisionalisme “yang tidak sehat” itu tidak akan membawa apa-apa, kecuali malapetaka. Penolakan adat-istiadat dan model pendidikan tradisional telah membawa tokoh Hanafi pada posisi dilematis yang tidak berujung, kecuali dengan perpisahan yang mengenaskan. Paraahli sastra pun dengan jitu dapat melihat sisi menarik dari dua konsep yang ditonjolkan, dimana Abdul Muis sebenarnya telah membuka sebuah perdebatan yang amat penting sehubungan dengan konsep dan keinginan kita, walaupun lewat karya sastra. Tidak mengherankan bila kemudian Goenawan Mohamad (1988: 56-57) menyatakan sebagai arah berpikir yang penuh kebimbangan. Artinya, secara tidak langsung pertumbuhan kesusastraan Indonesiasebenarnya dipenuhi oleh kebimbangan-kebimbangan.

 hobi4.jpg

Kenyataan ini lebih dipertegas lagi dengan polemik kebudayaan oleh kelompok Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Polemik kebudayaan yang membicarakan tentang arah kebudayaan Indonesia itu meliputi kurun waktu 1935-1936, yang selain dua tokoh di atas juga melibatkan Dr. Poerbatjaraka, Dr. Soetomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara (Achdiat Karta Mihardja, 1977). Anehnya, permasalahan ini kembali menghangat tahun 1986, dengan menampilkan tokoh yang jauh lebih muda dibanding dengan Sutan Takdir Alisjahbana sebagai pencetusnya. Mereka itu di antaranya Umar Kayam, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, Soebagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, Taufik Abdullah, Andre Hardjana, Sapardi Djoko Damono, Arief Budiman, Asrul Sani, Daoed Joesoef, dan Sutardji Calzoum Bachri (lihat Horison, Juli 1986). Kenyataan ini menunjukkan, bahwa bagaimanapun arah kebudayaan yang tercetus tahun 1935 itu tetap hangat sebagai sebuah pembicaraan yang tidak akan usang-usangnya. Hal ini terbukti di awal tahun 2000-an pembicaraan ini kembali menghangat.

Berbagai perdebatan – kebudayaan atau pun kesusastraan – sampai sekarang tetap marak. Karya sastra pun tetap lahir. Namun di balik semua itu, berbagai kebimbangan pun menebar, malah kadang sulit terdeteksi. Kebimbangan itu tidak hanya sekedar konsep untuk teks karangan itu sendiri, tetapi juga prinsip dari seorang pengarang dalam berkarya. Berbagai peristiwa sastra dan budaya seperti pengadilan puisi tahun 1974, polemik atas tuduhan plagiat puisi Chairil Anwar dan kasus Hamka tahun 1950-an, perang ideologi dan media tahun 1950-an hingga orde baru, pengadilan cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin (1968), perdebatan sastra kontekstual (1986), berbagai pengadilan karya sastra dan riak-riak kecil perdebatan dan polemik kesusastraan di Semarang, Jakarta, Padang, Bandung, dan Surabaya sampai pada persoalan puisi gelap (1994).

Adanya perdebatan kesusastraan sebagai implikasi dari kebimbangan sikap itu akan lebih menarik bila dilihat dari sisi pengarangnya sebagai orang yang bertanggung jawab di dalamnya. Tulisan ini mencoba melihat sisi pengarang yang pada akhirnya dihubungkan dengan pendekatan ekspresif dalam memahami dan menilai sebuah karya yang dihasilkan.

II

JIKA masing-masing pengarang kita tanyakan apa tujuan atau motivasi dari kepengarangannya, maka berbagai jawaban pun akan terkumpul. Boleh jadi kepengarangannya lantaran ingin mengungkapkan ekspresi, karena bakat, keinginan untuk terkenal, sebagai profesi, dan sebagainya. Tapi jujurkah jawaban yang mereka ungkapkan? Lebih jauh, jujurkah mereka dalam gerak lajunya untuk memperoleh titel pengarang “yang benar-benar sukses”?

Berbagai kejadian di dunia kepengarangan, khususnya dalam kasus plagiat karya pengarang yang telah “mapan” tidak hanya sekali dua kali kita dengar. Kelabilan para (calon) pengarang terkadang tidak segan-segannya berbuat sesuatu yang sebenarnya merusak namanya sendiri. Pada dasarnya, mereka menginginkan kesejajaran dengan pengarang yang telah “sukses” terlebih dahulu dengan bersusah payah. Kelabilan bersikap, kelabilan berkarya, dan kelabilan dalam memahami dunia yang tengah ditekuninya, merupakan di antara penyebab kegoncangan dunia sastra. Kasus Chairil Anwar yang memplagiat sajah Hsu Chih-Mok, Song of the Sea, menjadi Datang Dara Hilang Dara, adalah salah satu contohnya. Kelabilan Chairil itu pada akhirnya tidak bisa diterima saja, misalnya menyebutnya terpengaruh (Jassin, 1985: 57). Kelabilannya merupakan kelabilan konsep dalam kepenyairannya.

Menjadi seorang pengarang memang bukan pekerjaan yang mudah. Walaupun begitu, pekerjaan mengarang tidak pula sesuatu yang mengerikan. Konsistensi dalam mengarang bisa menjadikannya kaya, terutama di bidang pengetahuan yang didalami. Seorang pengarang termashur menurut Jassin (1985:11) kebanyakan mempunyai ilmu yang tidak langsung bersangkutan dengan pekerjaannya sebagai pengarang. Banyak di antara mereka yang seharusnya bisa mencapai dan memakai titel sarjana dan doktor, tapi tidak memakai titel itu. Memang bukan dalam titel letaknya kebesaran dan kebahagiaan pengarang, melainkan masak atau tidaknya buah ciptaannya.

Tentu akan menjadi tiada berarti bila pengarang hanya sibuk sendiri tanpa melihat dan mengikutsertakan masyarakatnya. Bisa jadi puisi dan novelnya – yang mungkin penting – tidak akan dibaca. Kritik karya yang yang penuh rayuan gombal jalan sendiri dan masyarakat merasa tidak membutuhkannya. Kebimbangan pengarang bisa menjadi tidak terkendali. Kritik sastra yang diberlakukan berubah menjadi psikoanalisis, dan akhirnya gosip. Goenawan Mohammad (dalam Horison, Januari 1986) menyebut situasi yang terjadi di pihaak pengaran adalah gosip-gosipan, dimana ia berubah menjadi tokoh publik.

III

SECARA umum, Abrams (dalam Teeuw, 1984:50) mengemukakan empat pendekatan dalam melihat karya sastra. Salah satu pendekatan itu adalah penekanan pada pengarangnya. Pendekatan ini lebih dikenal sebagai pendekatan ekspresif.

Penekanan aspek ekspresif karya sastra telah lama dimulai. Pada masa Yunani dan Romawi penonjolan aspek ekspresif karya sastra telah dimulai seorang ahli sastra Yunani Kuno, Dionysius Casius Longius, dalam bukunya On the Sublime (Mana Sikana, dalam Atmazaki, 1990: 32-33). Menurut Longius karya sastra harus mempunyai gayabahasa yang baik, mempunyai falsafah, pemikiran, dan persoalan agung yang penting, harus mempunyai emosi yang intens dan terpelihara serta tahan menghadapi zaman. Kenyataan ini menyebabkan pengarang mesti punya konsep yang jelas dan jauh dari kebimbangan-kebimbangan yang melanda dirinya.

Bila kemudian Plato mengungkapkan bahwa karya sastra adalah meniru dan meneladani ciptaan Tuhan, cukupkah sampai di situ peran seoraang pengarang? Ternyata Aristoteles menolak pendapat yang menyatakan bahwa posisi pengarang hanya berada di bawah Tuhan. Menurutnya, ciptaan Tuhan hanyalah sebagai tempat bertolak. Pengarang dalam penciptaan karyanya, dengan daya khayal dan kreativitas yang dipunyainya, justru mampu menciptakan kenyataan yang lebih kurang terlepas dari kenyataan alami. Dalam hal ini secara “lancang” menurut Aristoteles (dalam Atmazaki, 1990: 33) pengarang dengan sombongnya sebagai pencipta telah menyamai Tuhan.

Aspek ekspresif sebagai salah satu pendekatan dalam sastra barangkali lebih cocok dipakai dalam melihat kebimbangan pengarang dalam berkarya. Atmazaki (1990: 34-35) mengatakan bahwa pementingan aspek ekspresif ini disebabkan oleh alasan-alasan berikut:

1.      Pengarang adalah orang pandai. Ia adalah filsuf yang ajarannya dianggap sebagai filsafat yang menguasai cara berpikir manusia.

2.      Kata author berarti pengarang, yang bila ditambah akhiran –ity berarti berwenang atau berkuasa. Dalam hal ini yang dimaksudkan sudah tentu penguasaan bahasa, namun menciptakan kenyataan lewat bahasa yang tidak sama dengan kenyataan alami. Akan tetapi, walaupun tidak sama kenyataan itu adalah hakiki, kenyataan yang tinggi nilainya, sehingga orang dapat bercermin dengan kenyataan tersebut.

3.      Pengarang adalah orang yang mempunyai kepekaan terhadap persoalan, punya wawasan kemanusiaan yang tinggi dan dalam. Pengarang punya pemikiran dan perasaan yang selalu lebih maju, walau dalam masyarakat hal ini seringkali dianggap membingungkan lantaran rumitnya.

Adapun kerangka pendekatan ekspresif sebagaimana yang diuraikan Atmazaki (1990:36) adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan ekspresif berhubungan erat dengan kajian sastra sebagai karya yang dekat dengan sejarah, terutama sejarah yang berhubungan dengan kehidupan pengarangnya. Dalam kaitan ini maka dibahaslah latar belakang kehidupan pengarang, daerah kelahirannya, latar belakang sosial ekonomi, latar belakang pendidikannya, pengalaman-pengalaman penting yang pernah dilewatinya, dan lain-lain.

b. Karya sastra dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang. Gerak jiwa, pengembaraan imajinasi dan fantasi pengarang terlukis dalam karyanya.

Kecurigaan yang pertama kali atas ketidakjujuran seorang pengarang dalam berkarya adalah persoalan konsepnya dalam mengarang dan kelabilan untuk segera “cepat mapan”. Bila terpengaruh dianggap sebagai sesuatu yang dibolehkan, dalam kenyataannya memang banyak yang melakukannya. Namun mengambil dengan jelas-jelas karya orang lain dan menganggapnya sebagai karya sendiri, sudah tentu tidak dapat dimaafkan dan menghilangkan rasa simpati serta kepercayaan orang. Kesusahan yang telah dijalani pengarang lain dirampok begitu saja. Kelabilan atau kebimbangan pengarangnya dilihat dari aspek ekspresif, bisa menghasilkan hal menarik dalam sebuah telaahan kritis.

Harga sebuah kata, tulis Goenawan Mohamad (dalam Horison, Januari 1986), ditentukan oleh tebalnya lapisan penderitaan yang membuat kata itu ditulis. Sebuah puisi atau novel, adalah pencerminan pribadi; sebuah komposisi dari pengalaman yang tulen. Justru karena puisi atau novel mendapatkan kekuatannya dari sana, ia tidak perlu tersisih dari perhatian. Di sampingnya, sang pengarang seharusnya tak perlu lagi menunjukkan diri.

IV

KEBIMBANGAN-KEBIMBANGAN dalam kesusastraan berawal dari kebimbangan dalam diri pengarangnya, baik ketika ia akan terjun di dunia itu atau yang telah ‘mapan’ sekalipun. Kebimbangan-kebimbangan ini akhirnya dicatat sebagai sejarah, membesar dan menjadi kebimbangan pemikiran kesusastraan atau kebudayaan. Bahaya besar sebenarnya, justru datang tak lain dan tak bukan dari kaum pengarang itu sendiri.

Lalu sastra kita mau dikemanakan?

Inilah persoalan kita selanjutnya. Di antara gemuruh mengalirnya karya sastra, di antara riak gelombang perdebatan yang ada, di antara kebimbangan-kebimbangan yang terlukis lewat polemik yang tak habis-habisnya, ternyata kesusastraan tak mampu menyelesaikan masalah. Mungkin benar, sastra hanyalah sebagai alternatif-alternatif semata. Ia tak pernah benar-benar eksis sebagai sesuatu yang bisa diandalkan, walaupun misalnya dalam demonstrasi sekalipun. Ia hanya penggugah, pelopor, atau pilihan yang masih memerlukan upaya lebih besar lagi darinya. Persaingan dengan kompleksitas kehidupan menyebabkan sastra sebagai dulce et utile semata.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip apa yang ditulis Goenawan Mohamad (1988: 66), “Sesuatu yang dapat kita pastikan adalah ketidakpastian kita – keraguan kita yang tua, mengambang antara masa silam yang menjauh dan masa depan yang tidak tentu. Sebab akhirnya inilah Indonesia; suatu lingkungan kebudayaan yang tidak kunjung mapan, sementara masa depan tetap, bagaimanapun juga, suatu misteri.”

 

 
6 Komentar

Ditulis oleh pada 28 Maret 2008 inci Esai

 

Tag: ,

6 responses to “Kebimbangan Pengarang dan Pendekatan Ekspresif

  1. Sawali Tuhusetya

    28 Maret 2008 at 21:47

    pak zul, kreativitas pengarang justru seringkali muncul ketika sedang berada dalam keadaan tertekan, tidak mapan, dan serba teraniaya. karya2 masterpiece almarhum pram, misalnya, justru kebanyakan lahir ketika dia tidak bisa menikmati kemapanan itu, hehehehe 😆 nice posting, pak!

    …> Pak Sawali benar. Saya pernah membahas hal seperti itu sekilas di Suara Merdeka, dg contoh pengarang lain selain Pram yakni Chairil Anwar dan Iwan Simatupang.

    Wah, senang urun rembug dg Pak Sawali yg luas wawasannya.

     
  2. Qinimain Zain

    7 September 2008 at 08:28

    (Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 26 Oktober 2007)

    Strategi Paradigma Baru Kongres Cerpen Indonesia V
    (Studi Kasus: Polemik Ukuran Nilai Sastra)
    Oleh Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. ILMU diukur dari kekuatannya merumuskan hukum-hukum yang berlaku umum dan hubungannya atas kenyataan, seni dinilai dari pergulatannya dengan hal-hal yang partikular dan penciptaannya atas sesuatu yang belum ada dalam kenyataan (Nirwan Ahmad Arsuka).

    JUM’AT, Sabtu dan Minggu, 26-28 Oktober 2007 ini, berlangsung Kongres Cerpen Indonesia V di Taman Budaya, Banjarmasin, yang rencana dibuka orasi budaya oleh Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, HM Rosehan Noor Bachri, yang dihadiri ratusan sastrawan, budayan dan intelektual seluruh Indonesia. Dan, panitia sudah memastikan akan tampil pembicara hebat seperti Lan Fang, Korie Layun Rampan, Jamal T. Suryanata, Agus Noor, Saut Sitomorang, Nirwan Ahmad Arsuka, Ahmadun Yosi Herfanda, Kantrin Bandel, dan Triano Triwikromo. Dari forum ini diharapkan banyak masukan kemajuan. Sedang, tulisan ini hanyalah oleh-oleh kecil dari saya (Kalsel) akan masalah polemik panjang Taufiq Ismail-Hudan Hidayat yang masih jadi ganjalan.

    Polemik adalah fenomena biasa. Namun, untuk memecahkan dan menjelaskannya polemik sastra (baca: seni) menonjolkan seks sekalipun, harus berdasar sistem ilmu pengetahuan. Jika tidak, hasilnya berbantahan dan sakit hati berkepanjangan. Artinya, bagaimana pun harus dengan kritik akademis, yang diharapkan mampu memberi jalan ke arah penyehatan kembali kehidupan kesusastraan.

    Lalu, apa kesulitan sesungguhnya memecahkan hal seperti ini?

    Kembali berulang-ulang memberitahukan (dan tidak akan bosan-bosan – sudah ratusan pemecahan), akar masalahnya adalah sebelum tahun 2000, (ilmu) pengetahuan sosial belum dapat disebut sebuah ilmu pengetahuan, karena tidak memenuhi Total Qinimain Zain (TQZ) Scientific System of Science yaitu memiliki kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum (kecuali Teori Hirarki Kebutuhan Abraham H Maslow, proposisi silogisme Aristoteles, dan skala Rensis A. Likert tanpa satuan, belum cukup monumental). Adalah tidak mungkin menjelaskan sebuah fenomena apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistemnya. (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

    YANG baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam jawaban (Robert Spaemann).

    Mengenai polemik. Inti pertentangan adalah beda pandangan akan nilai kebenaran sesuatu. Menurut Eric Johnson, setiap orang selalu mempunyai reference point atau titik referensi, yaitu apa yang sudah dialami, diketahui atau diyakininya. Artinya, bila titik referensi seseorang atau kelompok masyarakat dengan orang atau kelompok yang lain tentang sesuatu berbeda, apalagi dimuati kepentingan, polemik mungkin terjadi. Namun sesungguhnya, seorang pribadi dan sebuah kelompok masyarakat yang bahagia, bukan disebabkan tidak adanya pertentangan, tetapi karena tidak adanya keadilan kebenaran. Jadi yang penting dalam pertentangan, mengetahui keadilan pandangan kebenaran pribadi seseorang dihadapkan dengan pandangan orang lain yang berseberangan akan sesuatu hal itu. Artinya, untuk menengahi sebuah pertentangan dan menentukan nilai kebenarannya agar obyektif, harus berdasar kerangka referensi pengetahuan pengalaman yang teratur, yang tak lain sebuah sistem ilmu pengetahuan.

    SETIAP kebijaksanaan harus bersedia dipertanyakan dan dikritik oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan lain. Keberlakuan universal harus dapat membuktikan diri dalam konfrontasi dengan mereka yang berpikir lain (Benezet Bujo).

    Dalam paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN: The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Philosophy of Reference Frame, terdapat jumlah lima fungsi, berurutan, berkaitan, dan satu kesatuan, kebenaran sesuatu dinilai berdasar titik referensi (1) How you see yourself (logics), (2) How you see others (dialectics), (3) How others see you (ethics), (4) How others see themselves (esthetics), sampai ke level (5) How to see of all (metaphysics), yang harus ditanyakan sebelum keputusan menjatuhkan nilai kebenaran sesuatu dalam pertentangan.

    Di sini terdapat hubungan dan pergeseran referensi nilai kuantitatif dengan kualitatif. Dari level logics (benar) yang kuantitatif, ke dialectics (tepat), kemudian ethics (baik), lalu esthetics (bagus), sampai ke level metaphysics (abadi) yang semakin kualitatif. Atau, penekanan referensi sesuatu bergeser dari nilai kebenaran kelompok besar menjadi lebih secara satuan individu, dari hal bersifat konkrit (logika) menjadi abstrak (metafisik). Nampak jelas pula, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, bisa dianggap tidak benar oleh yang lain karena mempunyai titik referensi yang berbeda. Atau malah, sesuatu yang dianggap benar oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi tidak tepat bagi yang lain, tepat tetapi tidak baik, baik tetapi tidak bagus, dan mungkin saja bagus tetapi dianggap tidak abadi sebagai kebenaran suatu keyakinan tertentu. Dan, jika sampai pada keyakinan nilai kebenaran abadi, ini sudah sangat subyektif pribadi. (Sudut pandang level How you see others dan How you see others, How others see themselves dan How others see you, adalah subyektif karena dalam sudut pandang reference object dan reference direction, sedang How to see of all, adalah lebih obyektif, level adil).

    Ada paradoks di sini. Semakin menilai kebenaran sesuatu mengutamakan kepentingan umum (kuantitatif) akan meniadakan kepentingan pribadi (kualitatif). Sebaliknya, semakin mengutamakan kepentingan pribadi (kualitatif) akan meniadakan kepentingan umum (kuantitatif). Ini yang harus disadari dalam menghadapi dan dijelaskan menengahi suatu polemik atau pertentangan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dan, sastrawan (baca: seniman) sadar, harga sesuatu karya terletak kemampuannya menciptakan momentum nilai di antara tarik ulur paradoks ini. Antara konvensi dan revolusi, antara pengaruh nilai lama dan mempengaruhi nilai baru.

    SENI kemajuan adalah mempertahankan ketertiban di tengah-tengah perubahan, dan perubahan di tengah-tengah ketertiban (Alfred North Whitehead).

    Kembali ke polemik ukuran nilai sastra menonjolkan seks. Dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru TQZ, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas, dan D(ay) atau Hari kerja (sistem ZQD), padanan m(eter), k(ilo)g(ram), dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta, sistem mks). Artinya, kebenaran sesuatu bukan hanya dinilai skala kualitasnya (1-5Q dari sangat buruk, buruk, cukup, baik, dan sangat baik), tetapi juga sempurnanya (1-5Z, lima unsur fungsi TQZ, yang untuk TQZ Philosophy of Definition, yaitu logics, dialectics, ethics, esthetics, dan metaphysics secara berurut). Artinya, kekurangan atau keburukan salah satu fungsi membuat suatu karya nilainya tidak sempurna.

    Contoh, definisi paradigma lama, kesusastraan adalah tulisan yang indah. Paradigma baru, nilai keindahan tidak lengkap kalau tidak dikaitkan dengan unsur kebenaran, ketepatan, kebaikan, dan keabadian. Kini, definisi TQZ kesusastraan adalah seni tulisan yang benar, tepat, baik, bagus (indah), dan abadi secara sempurna. Artinya, bila ada pertentangan nilai akan karya sastra (juga yang lain), menunjukkan karya itu memiliki salah satu atau lebih unsur filsafatnya buruk, sebagai sebuah karya yang sempurna. (Memang, sah saja penulis mengejar keunikan atau kebaruan pribadi, mengeksploitasi unsur seks dalam karyanya. Mungkin saja berkualitas segi logika cerita, dialektika nilai, keindahan teknis penulisan dan karya monumental (abadi) suatu genre sehingga juara dalam satu perlombaan. Tetapi dalam paradigma TQZ, tidak sempurna karena abai unsur etika).

    Sekarang jelas, yang dikejar penulis mana pun, bukan sekadar ukuran nilai kualitas beberapa unsur, tetapi karya dengan kualitas nilai kebenaran (lima unsur yang) sempurna. Inilah titik kerangka referensi bersama menilai karya sastra (dan juga apa pun) dalam sistem ilmu pengetahuan paradigma baru.

    SEKOLAH dan kuliah, seminar dan training, buku dan makalah, ulasan dan kritikan, tanpa menyertakan alat metode (sistem ilmu pengetahuan) pelaksanaannya hanyalah dorongan mental yang membosankan, yang tidak efektif, efesien dan produktif (Qinimain Zain).

    BAGAIMANA strategi Anda?

    *) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)

     
  3. Nana Podungge

    15 Januari 2009 at 12:17

    Absolutely there are many reasons why people write, either to express themselves, to criticize other people/government, to earn money, to find way out when they feel depressed, to balance gender inequality. And other things. 🙂

     
  4. andra

    25 Mei 2011 at 12:06

    mau tanya, untuk yang kutipan atmazaki, diambil dari buku apa saja ya?
    saya butuh untuk bahan skripsi
    terima kasih ^^

     
  5. rakage16

    28 November 2011 at 20:26

    Bagaimana dengan PERADILAN RAKYAT karya Putu wijaya??

     

Tinggalkan komentar